Home » » URF'

URF'

Written By Unknown on Wednesday, May 1, 2013 | 8:34 PM


A.   PENDAHULUAN
Imu Ushul Fiqh adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i dari nash. Dan berdasar nash pula mereka mengambil illat yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar’i, sebagaimana dijelaskan dan diisyaratkan oleh al-Qur’an maupun Sunnah Nabi. Dalam hal ini Ilmu Ushul Fiqh berarti suatu kumpulan kaidah metedologis yang menjelaskan bagi seorang faqih bagaimana cara mengambil hukum dalil-dalil syara’. Dan didalam Ilmu Ushul Fiqh juga terdapat bermacam-macam pembahasan salah satunya ialah Urf, Urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, urf ini sering disebut sebagai adat.
B.   RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian urf
2.      Macam-macam urf
3.      Hukum urf
4.      Kehujjahan urf
5.      Perbedaan antara urf dan ijma’

C.   PEMBAHASAN
1.      Pengertian urf
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, urf ini sering disebut sebagai adat.
Pengertian diatas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara’. Diantara contoh ‘urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘urf yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juga tentang meng-itlak-kan lafadzh al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian, ‘urf itu mencakup sikap saling pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di antara mereka, baik keumumannya ataupun kekhususannya. Maka ‘urfberbeda dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahid secara khusus.[1]
Urf merupakan sau sumber yang diambil oleh madzhab Hanafy dan Maliky, yang berada di luar lingkup nash. Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu’amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) ditengah masyarakat.[2]
2.      Macam-macam urf
Para ulama ushul fiqh membagi urf dalam tiga macam :
1.      Dari segi objeknya urf dibagi dalam: al-urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-urf al-amali(kebiasaan yang berbentuk perrbuatan).
a.      Al-urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya,ungkapan daging yang berarti dagig sapi: padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada. Apabia seseorang mendatangi penjual daging, yang menjual bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging satu kilogram “ pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b.      Al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperpadatan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain. Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjual, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti kulkas dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
2.      Dari segi cakupannya urf terbagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang bersifat khusus).
a.       Al-urf al’am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri, dan biaya tambahan.
b.      Al-urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat dikembalikan.
3.      Dari segi keafsahannya dari pandang syara’ urf tebagi dua: al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf al-fasid(kebiasaan yang dianggap rusak).
a.       Al-urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b.      Al-urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjam uang antar sesama pedagang.[3]
  1. Hukum Urf
Adapun ‘urf yang shahih, maka ia wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam peradilan. Sesorang mujtahid haruslah memperlihatkan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim juga harus memperhatikannya dalam peradilannya. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka jalani, maka hal ini telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara’ , maka wajib diperhatikan. Syari’ telah memelihara terhadap tradisi bangsa Arab dalam pembentukan hukumnya. Misalnya, kewajiban diyat (denda) atas calon keluarganya (‘aqilah : keluarga kerabatnya dari puihak ayah, atau ‘ashabahnya), kriteria kafaah (kesetarafan) dalam perkawinan, dan pengakuan ke’ashabahan dalam kewajiban dan pembagian harat warisan.
Oleh karena itulah maka ulama berkata :

Artinya:
“adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”.
Urf mendapat pangkuan didalam syara’. Imam banyak mendasarkan hukumnya atas amal perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat mengenai sejumlah hukum berdasarkan perbedaan ‘urf mereka. Imam Syafi’i ketika turun ke Mesir, maka ia merubah sebagian hukum yang pernah menjadi pendapatnya ketika ia berada di Baghadad, karena perubahan ‘urf. Karena ini pulalah, maka ia mempunyai dua mazhab, yaitu :
  1. Mazhab lama, dan
  2. Mazhab baru
Demikian pula didalam fiqh mazhab Hanafiyah terdapat sejumlah hukum yang didasarkan atas ‘urf. Diantaranya ialah : apabila dua orang yang saling dakwa-mendakwa berbeda pendapat dan tidak ada bukti pada salah seorang dari mereka, maka perkataan orang yang diterima adalah orang yang disaksikan oleh ‘urf.
Apabila suami istri tidak sepakat atas muhar yang harus didahulukan dan mahar yang diakhirkan penyerahannya, maka hukum yang diputuskan adalah kebiasaan.
Barang siapa yang bersumpah tidak akan memakan daging, kemudian ia memakan ikan, maka ia tidak melanggar sumpahnya, atas dasar kebiasaan (‘urf).
Benda yang dapat dipindah-pindahkan sah untuk diwakafkan apabila ‘urf tentang hal itu berlaku. Persyaratan dalam perjanjian adalah sah apabila ada pengakuan oleh syara’, atau dikehendaki oleh perjanjian itu sendiri, atau diberlakukan oleh ‘urf.
Almarhum al-‘allamah Ibnu ‘Abidin telah menyusun sebuah risalah yang ia namakan :

(penyebaran ‘urf dalam hukum yang didasarkan atas ‘urf)
Diantara ungkapan yang terkenal ialah :

Artinya :
“Sesuatu yang dikenal sebagai adat kebiasaan adalah seperti sesuatu yang dipersyaratkan sebagai syarat, dan sesuatu yang tetap berdasarkan ‘urf adalah seperti sesuatu yang tetap berdasarkan nash”.
Adapun ‘urf yang fasid (adat kebiasaan yang rusak), maka ia tidak wajib diperhatikan, karena memperhatikannya berarti bertentangan dengan dalil syar’i, atau membatalkan hukum syar’i. Maka, apabila manusia telah terbiasa mengadakan suatu perjanjian yang termasuk diantara perjanjian yang fasid, seperti perjanjian yang bersifat riba atau perjanjian yang mengandung penipuan atau bahaya, maka ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh terhadap pembolehan perjanjian tersebut. Oleh karena inilah, maka dalam undang-undang yang dibuat, ‘urf yang bertentangan dengan peraturan atau ketentuan umum tidak diakui. ‘urf hanyalah dilihat dalam perjanjian seprti ini dalam segi lain, yaitu : “sesungguhnya perjanjian itu apakah termasuk kondisi darurat manusia atau termasuk dari kebutuhan mereka, dimana apabila akad itu dibatalkan, maka struktur kehidupan mereka akan rusak, atau mereka akan memperoleh keberatan dan kesempita ataukah tidak?” jiaka akad tersebut termasuk kondisi darurat mereka atau kebutuhan mereka, maka ia diperbolehkan. Karena sesungguhnya darurat memperbolehkan hal-hal yang terlarang. Sedangkan kebutuhan ditempatkan pada tempat darurat pada masalah ini. Akan tetapi jika ia tidak termasuk kondisi darurat mereka dan tidak pula termasuk kebutuhan mereka, maka ia diputuskan kebatalannya, dan tidak diakui adanya ‘urf itu.[4]
  1. Kehujjahan Urf
Mengenai kehujjahan ‘urf terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqih, yang menyebabkan timbulnya dua golongan dari mereka.
1. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa ‘urf adalah hujjah untuk menetapkan hukum.
Alasan mereka ialah firman Allah SWT :

Artinya:
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.( QS.Al A’raf: 199 ).
Ayat ini bermaksud bahwa ‘urf ialah kebiasaan manusia, dan apa-apa yang mereka sering lakukan ( yang baik ).
2. Golongan Syafi’iyah dan Hambaliyah, keduanya tidak menganggap ‘urf itu sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i.
Para uluma juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat Al Qur’an di turunkan, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
  1. Perbedaan antara urf dan ijma’
1.   Urf ialah persamaan/persesuaian dalam kata-kata atau perbuatan yang terjadi antara orang banyak, baik orang-orang biasa, orang-orang pandai, atau orang-orang ahli ijtihad. Sedang ijma’ hanya terjadi pada persesuaian atau kebulatan pendapat para ahli ijtihad saja.
2.   Urf tetap dianggap ada, baik persesuaian/persamaan tersebut terjadi antar seluruh orang tidak ada kecuali, atau hanya antara sebagian besarnya saja. Dengan perkataan lain, penyimpangan beberapa orang dari kebanyakan orang tidak mempengaruhi adanya urf. Ijma’ hanya terjadi dengan adanya kebulatan pendapat semua ahli ijtihad atas sesuatu soal yang disodorkan kepada mereka. Perbedaan pendapat, meskipun dari satu orang saja berakibat tidak adanya ijma’.
3.   Hukum yang didasarkan atas ijma’ sama kuatnya dengan hukum yang didasarkan atas nash. Kedua-duanya tidak menjadi lapangan ijtihad. Sedang hukum yang berdasarkan urf dapat berubah menurut perubahan urf itu sendiri. Karena itu ulama-ulama sebelumnya. Bahkan pendapat seseorang dapat berubah-ubah pula karena urf. Imam syafi’i waktu datang ke Mesir lain pendapatnya sewaktu ia berada di Iraq.[5]
D.   KESIMPULAN
‘Urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
Macam-macam ‘urf terdapat tiga segi sudut pandang: Dari segi obyeknya, segi cakupannya, dan segi keafsahannya. Hukum ‘urf yang shahih, maka ia wajib di pelihara dalam pembentukan hukum dan dalam peradilan, hukum ‘urf yang fasid, maka ia wajib diperhatikan. Mengenai kehujjahan ‘urf terdapat perbedaan di kalangan ulama ushul fiqih.
Urf ialah persamaan/persesuaian dalam kata-kata atau perbuatan yang terjadi antara orang banyak, baik orang-orang biasa, orang-orang pandai, atau orang-orang ahli ijtihad, sedangkan ijma’ hanya terjadi dengan adanya kebulatan pendapat semua ahli ijtihad atas sesuatu soal yang disodorkan kepada mereka. Perbedaan pendapat, meskipun dari satu orang saja berakibat tidak adanya ijma’.


E. PENUTUP
    Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, Di sini kami hanya berusaha menjelaskan pengetahuan sejauh yang kami. miliki. Kami menyadari akan banyaknya kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Dan kami tidak menutup kemungkinan untuk menerima saran; dan kritik yang bersifat membangun dari anda semua. Demi kesempurnaan makalah-makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Amiiiinnnn.



DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i,Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: PUSTAKA SETIA, 2007.
Uman,Chaerul, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2000.
Wahhab Khallaf,Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: DINA UTAMA, 1994.
A. Hanafie, Usul Fiqh, Jakarta : WIDJAYA, 1989.
Abu,Zahra,Muhammad, “ Ushul Fiqh”, Jakarta: PT PUSTAKA FIRDAUS, 1994





[1] Rachmat syafe’i, MA., “Ilmu Ushul Fiqh”, Bandung: Pustaka setia, 2007
[2] Prof. Muhammad Abu Zahra, “ Ushul Fiqh”, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994
[3] Chaerul Uman,dkk, “Ushul Fiqih 1”, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000
[4] Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul Fiqh”, semarang: Dina Utama, 1994
[5] A. Hanafie M.A, “Usul Fiqh”, Jakarta: WIDJAYA, 1989

0 comments:

Post a Comment