I. PENDAHULUAN
Mu’tazilah mempergunakan akal dengan sebebas-bebasnya dalam membahas persoalan tanpa mengenal batas, baik yang berhubungan dengan alam dunia maupun Tuhan. Salah satunya yaitu ajaran Ke Esaan Tuhan. Ajaran Ke Esaan Tuhan merupakan ajaran yang pertama dalam Islam. Kaum Mu’tazi’lah berfikir mendalam tentang ajaran tersebut serta mempertahankan hasil pemikiran mereka. Menurut mereka, orang-orang yang menyalahi pendiriannya dianggap sesat dan harus diluruskan. Mereka mempertahankan Ke Esaan semurni-murninya karena menghadapi golongan Syi’ah Rafidloh yang extrim, yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang berjisim dan dapat diindera[1], dan golongan-golongan agama yang dualism serta trinitas.[2] Salah satu prinsip Ke Esaan yang semurni-murninya adalah tentang sifat. Banyaknya perbedaan pemahaman ada atau tidaknya tentang sifat Tuhan membuat kita untuk memahami secara mendalam tentang sifat tersebut menurut mu’tazilah.
II. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana sifat Tuhan menurut Mu’tazilah?
III. PEMBAHASAN
Persoalan bahwa Tuhan mempunyai sifat atau tidak merupakan persoalan yang mengalami pertentangan. Sifat diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri disamping esensi. Sebagian aliran mengatakan bahwa Tuhan itu mempunyai sifat dan sebagian lainya mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Muhammad Abduh mengatakan bahwa sifat termasuk esensi Tuhan. Dalam Hasyiah ‘ala Syarh Al-Dawwani li Al-‘Aqaid Al-Adudiah dijelaskan bahwasanya sifat menurut pendapat para filosof Islam adalah esensi Tuhan. Mereka menjelaskan bahwa esensi merupakan satu-satunya sumber dari segala yang ada dan sumber dari akibat yang timbul dari sifat. Akibat yang timbul dari sifat mengetahui ialah memperoleh pengetahuan.
Sifat mengetahui adalah akibat yang timbul dari esensi. Dengan demikian esensi dan sifat mengetahui adalah satu.[3]
Ajaran mu’tazilah tentang prinsip Keesaan Tuhan salah satunya yaitu tentang sifat. Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat Tuhan sebagai suatu yang qadim, yang lain daripada zatnya.[4]
Ajaran ketiga dari Wasil adalah peniadaan sifat-sifat Tuhan. Keyakinan yang kuat dipertahankan kaum mu’tazilah salah satunya adalah kemahaEsaan Tuhan. Bagi mereka Tuhan adalah Maha Esa dan Maha Adil. Dalam usaha memurnikan ajaran kemahaEsaan Tuhan mereka menolak segala pemikiran yang bisa membawa paham syirik atau politeisme. Mereka berpendapat bahwa apabila Tuhan mempunyai sifat maka didalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak yaitu unsur zat dan unsur sifat yang melekat kepada zat. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai dua puluh sifat, maka Tuhan akan tersusun dari dua puluh satu unsur dan apabila empat puluh sifat unsurnya akan berjumlah empat puluh satu serta kalau dikatakan Tuhan mempunyai Sembilan puluh sembilan sifat maka Tuhan akan terdiri dari seratus unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan akan membawa kepada banyaknya jumlah yang qadim sedangkan dalam paham teologi qadim itu esa. oleh karena itu paham tentang banyak yang qadim membawa kepada syirik dan syirik dalam islam adalah dosa terbesar yang tak diampuni Tuhan. Untuk mengatasi paham syirik tersebut maka Wasil mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat tetapi Wasil dan pengikut-pengikutnya tidak menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahman, al-Rohim, al-Qadir, dan sebagainya. Mereka menerima bahwa kebenaran ayat-ayat itu bersama dengan kebenaran ayat-ayat lainya. Meskipun demikian mereka berbeda pendapat tentang penafsiran ayat-ayat tersebut. Bagi mu’tazilah ayat-ayat tersebut bukanlah sifat Tuhan tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan. Bagi mereka Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan tetapi melalui zat Nya.
Dalam kata-kata al-Huzhail (pemuka kedua kaum mu’tazilah) mengatakan bahwasanya Tuhan maha tahu dan pengetahuan Tuhan dengan zatnya. Esa pada diri Tuhan menurut mu’tazilah adalah diri yang tidak tersusun dari lapisan zat dan lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat yang mempunyai berbagai aspek. Tujuan mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan adalah pengesaan diri Tuhan, dan menjauhi pengertian politeisme.[5]al-Jubba’i mengatakan bahwa Tuhan mengetahui dengan esensinya yaitu untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Abu Hasyim berpendapat bahwa arti “ Tuhan mengetahui melalui esensinya” ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui. Meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara golongan Mu’tazilah tetap saja mereka mengatakan sepakat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.[6]
Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat yang ditegaskan al-Qur’an. Mereka hanya mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa, wahdaniyah (Ke Esaan).[7]
IV. ANALISIS
Konsep mu’tazilah yaitu Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan tetapi melalui zat Nya. Dalam usaha memurnikan ajaran kemahaEsaan Tuhan mereka menolak segala pemikiran yang bisa membawa paham syirik atau politeisme. Mereka berpendapat bahwa apabila Tuhan mempunyai sifat maka didalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak yaitu unsur zat dan unsur sifat yang melekat kepada zat.
Kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatannya, di samping Tuhan itu mengetahui, menghendaki, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Dan menurut al-Baghdadi, bahwa terdapat consensus di kalangan kaum Asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan, hayat, penglihatan adalah kekal. Menampik pernyataan ini, maka Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. “Sifat” mengandung arti kekal dan tetap, sedangkan “keadaan” mengandung arti berubah. Selanjutnya, sifat mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh karena itu, mengatakan Tuhan tidak mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai keadaan, tidaklah segaris dengan konsep kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, Tuhan mesti mempunyai sifat-sifat kekal. Kaum Mu’tazilah tidak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak yang betul-betul mutlak, tetapi kekuasaan dan kehendak mutlak yang mempunyai batas-batas tertentu, dapat menerima paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Kaum Maturidiyah sependapat dengan Asy’ariyah bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Untuk menyelesaikan persoalan kekekalan maka mereka mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri dan mengatakan bahwa Tuhan bersama sifat-Nya yang kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.[8]
V. KESIMPULAN
Menurut mu’tazilah Tuhan tidak mempunyai sifat karena Tuhan itu Esa. Esa pada diri Tuhan menurut mu’tazilah adalah diri yang tidak tersusun dari lapisan zat dan lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat yang mempunyai berbagai aspek. Tujuan mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan adalah pengesaan diri Tuhan, dan menjauhi pengertian politeisme. bagi mu’tazilah ayat-ayat seperti al-Rahman, al-Rohim, al-Qadir, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat Tuhan tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah, Jakarta: UI-Press, 1987.
Sukri, Muhammad, Post Mu’tazilah, Yogyakarta : IRCiSoD, 2002.
Romas, A Ghofir, Ilmu Tauhid, Semarang: Penerbit Fakultas Da’wah, 1997.
Munir, Ghazali, In’amuzzahidin Masyhudi (Ed), Ilmu Kalam ( aliran-aliran dan Pemikiran), Semarang: RaSAIL Media Group, 2010.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2010.
[1] A. Ghofir Romas, Ilmu Tauhid, (Semarang: Penerbit Fakultas Da’wah. 1997)
[2]Ghazali Munir, Ilmu Kalam ( aliran-aliran dan Pemikiran), (Semarang: RaSAIL Media Group. 2010)
[3] .Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah.(Jakarta: UI-Press, 1987)
[4] A. Ghofir Romas, Ilmu Tauhid
Ghazali Munir, Ilmu Kalam ( aliran-aliran dan Pemikiran)
[5]Muhammad Sukri, POST-MU’TAZILAH Genealogi Konflik Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta :IRCiSoD, 2002)
[6]Harun nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press. 2010)
[7] A. Ghofir Romas, Ilmu Tauhid
0 comments:
Post a Comment